Seri Karmelitana – Hari 75

“Dan jika Engkau menunggu karya-karya baik milikku untuk mengabulkan hal-hal yang kumohon kepadaMu, anugerahkanlah dan kerjakanlah karya-karya itu bagiku, dan juga penderitaan- penderitaan yang ingin Kau terima, biarkanlah itu terjadi” (Ucapan-Ucapan tentang Cahaya dan Cinta 26).

Jiwa yang mengatakan doa ini jatuh cinta, jatuh cinta kepada Allah dan jatuh cinta bagi Allah. Ia tahu bahwa Allah mencintainya. Bukan dosa-dosa masa lalunya yang menghalanginya dari pengalaman utuh tentang kehadiran Allah. Dan jika ada sesuatu yang kemudian harus dilakukan olehnya, haruslah Allah yang akan memberinya rahmat untuk melakukan apapun yang penting.

Santo Yohanes dari Salib memperkenalkan dan menambahkan suatu ide tentang hal yang bisa dilakukan oleh jiwa “dan penderitaan yang ingin Kau terima” (Ucapan-Ucapan tentang Cahaya dan Cinta 26) adalah suatu ide yang menarik.

Saya percaya bahwa Santo Yohanes dari Salib sedang berbicara tentang sesuatu yang mendasar, tentang pengalaman semua manusia dalam kehidupan ini, yakni tentang cara mengatur rasa sakit. Rasa sakit adalah bagian dari kehidupan semua orang, sakit secara fisik, emosional, psikologis, spiritual-pribadi dan antarpribadi. Kehidupan ini tidak sempurna. Tidak ada manusia sempurna. Tidak ada keluarga sempurna. Tidak ada komunitas sempurna.

Terhadap pertanyaan tentang cara mengatur rasa sakit, ada dua pilihan dasar: menolak atau menerima. Penolakan rasa sakit berarti menyangkal kenyataan dan menyebabkan depresi. Menerima rasa sakit berarti memikulnya dan membawanya maju. Kata depresi berasal dari dua kata Latin de (ke bawah) dan pressio (menekan). Depresi adalah sesuatu yang ditekan ke bawah, di sana tidak ada gerakan. Kata Inggris suffer (menderita) berasal dari dua kata Latin, sub (di bawah) dan ferre (memikul). Menderita berarti memikul beban. Tidakada pergerakan dalam depresi, tetapi ada pergerakan dalam menderita.

“Menderita dengan baik” berarti mendewasakan diri melalui kesulitan-kesulitan yang berasal dari ketidaksempurnaan segala hal tanpa menyayangi diri dengan menyatukan penderitaan kita kepada penderitaan Kristus.

“Saya seharusnya mau mengajak orang-orang rohani bahwa jalan menuju Allah tidak memerlukan suatu penggandaan pertimbangan, metode, cara, dan pengalaman, tetapi hanya menuntut satu hal penting: penyangkalan diri yang sejati, baik secara eksterior dan interor, denganmenyerahkan diri kepada dua hal, yakni penderitaan Kristus dan pengosongan dalam semua hal” (II Pendakian Gunung Karmel 7.8).

Kita menyerahkan diri kita kepada penderitaan bagi Kristus dengan menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus. Itu berarti menderita dengan motif yang sama yang dialami oleh Kristus yang menderita. Kristus menderita untuk menyelamatkan manusia. Kita menderita untuk alasan yang sama, menyelamatkan kemanusiaan. Hal ini sama dengan ajaran Santo Paulus: “Sekarang saya bersukacita dalam penderitaanku demi kamu dan dalam daging aku melengkapi apa yang kurang dalam derita Kristus bagi tubuhNya yang adalah Gereja” (bdk. Kol 1:24)

Kita akan mengalami rasa sakit dalam kehidupan. Ajaran para kudus karmel adalah bahwa penyatuan rasa sakit kita kepada penderitaan Kristus menyelamatkan kita dari depresi (negatif) dan mengubah rasa sakit kepada penderitaan (positif). Inilah derita yang diharapkan oleh Bapa untuk kita terima.

Dikutip dari buku: P. Aloysius Deeney, OCD, Renungan-Renungan Santa Teresa Dari Yesus dan Santo Yohanes Dari Salib, (Yogyakarta: Nyala Cinta, 2022), hlm. 150-151.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *