“Saya kira sesat bukan berarti lain daripada menyerah berdoa. Semoga Allah membebaskan kita karena Ia adalah Allah” (Riwayat Hidup 19.12).
Santa Teresa sedang menulis tentang cara keempat datangnya rahmat bagi jiwa dengan menggunakan gambaran cara air datang ke taman. Cara keempat adalah cara di mana Allah secara langsung dan segera memberi rahmat. Jiwa adalah penerima rahmat dalam cara yang sama tanah menerima air saat hujan. Inilah doa persatuan.
Dalam bab 18 ia menceritakan betapa sulitnya menyusun kata-kata untuk menjelaskan pengalamannya; dan dia menceritakan beberapa akibat eksterior. Dalam bab 19 ia menceritakan beberapa efek interior, kelembutan, keberanian dan kerendahan hati.
Ia menulis tentang jiwa yang telah dibawa ke dalam tahap doa ini: “Jiwa mulai bermanfaat bagi sesamanya hampir tanpa mengetahuinya atau tanpa melakukan sesuatu dari dirinya” (Riwayat Hidup 19.3). Kebajikan- kebajikan telah tumbuh begitu kuat dalam orang ini sehingga sesama mampu melihat kebaikan dalam dia dan orang yang telah menerima kebajikan-kebajikan ini ingin melayani sesama dengan seluruh hati. Ada sebuah transparansi kebaikan dan ketulusan jiwa yang adalah hasil langsung dari kelembutan, keberanian dan kerendahan hati yang telah diterima oleh jiwa. “Jiwa memahami bahwa ia memiliki kebajikan dan sesamanya melihat buah yang diinginkan” (Riwayat Hidup 19.3).
Ia kemudian menulis dari kedalaman pengalamannya tentang bahaya terbesar bagi orang-orang yang berada dalam perjalanan kepada kehidupan persatuan dengan Allah, yakni kerendahan hati palsu yang membuat seseorang menyerah. Seperti kerendahan hati sejati dan keberanian selalu hadir bersamaan, demikian pula, kerendahan hati yang palsu dan ketakutan selalu bersama. Ia mengatakan “Bahwa seseorang tidak harus menjadi takut adalah satu dari berbagai alasan yang memberanikan saya, menjadi seperti adanya saya, untuk menaati dan menulis sebuah hal tentang kehidupan saya yang malang dan rahmat yang diberikan Tuhan kepada saya tanpa pelayanan saya kepadaNya, malah saya menghinaNya” (Riwayat Hidup 19.4).
Ia menulis secara pribadi dan cukup terus terang bahwa ia menyerah untuk berdoa selama setahun setengah dan bahwa ia melakukan itu karena alasan kemungkinan terburuk, yakni kerendahan hati palsu yang mengatakan kepadanya “Kau pendosa, betapa beraninya kau berdoa kepada Allah! Oh Allah bantulah saya, betapa besar kebutaan ini!” (Riwayat Hidup 19.4). Ia mengatakan bahwa periode saatia meninggalkan doa itu seperti menaruh dirinya di neraka. Itu adalah sebuah jebakan dari kepalsuan yang bersuara masuk akal dan benar.
Allah telah memanggil saya untuk kehidupan doa. Tetapi saya adalah seorang pendosa. Saya telah berdosa sebelumnya dan saya akan berdosa lagi. Karena sikap saya yang menghina Tuhan, saya tidak layak mem- peroleh rahmat-rahmatNya. Ia memberikan kepada saya dalam doa. Karena itu, lebih baik saya tidak berdoa agar tidak menghina Allah lagi.
Semua benar, kecuali penutup. Allah tidak bisa dikalahkan dalam belas kasih.
“Saya percaya bahwa berbagai hal menjadi lebih buruk jika seseorang meninggalkan doa dan tidak mengubah caranya yang jahat. Tetapi jika orang tidak meninggalkannya, mereka boleh percaya bahwa doa akan membawa mereka ke pelabuhan terang” (Riwayat Hidup 19.4).
Dikutip dari buku: P. Aloysius Deeney, OCD, Renungan-Renungan Santa Teresa Dari Yesus dan Santo Yohanes Dari Salib, (Yogyakarta: Nyala Cinta, 2022), hlm. 130-132.
0 Comments