“Jika semua bunga kecil ingin menjadi mawar, musim semi akan kehilangan keindahannya”
Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus
Sangat sering, kita sebagai orang dewasa, menganggap remeh anak kecil. Bagi kita, anak kecil itu tidak tahu apa-apa, lemah, bodoh, tidak penting dan dibandingkan dengan orang-orang dewasa; mereka bukanlah apa-apa selain anak kecil saja. Padahal, semua orang dewasa, pernah menjadi anak kecil.
Namun ini bukan tentang anak kecil yang tidak lagi ada karena sudah tumbuh dewasa, tapi tentang anak kecil dalam diri kita (inner child) yang tak boleh kita pungkiri keberadaannya.
Pada salah satu sesi Kursus Pengolahan Masa Kecil di Puspita (Pusat Spiritualitas Girisonta), Semarang, kami menonton film Disney’s The Kid (2000), yang diperankan aktor kawakan Bruce Willis sebagai Russ Duritz dewasa dan Spencer Breslin sebagai Russ kecil, Emily Mortimer sebagai Amy dan Lily Tomlin sebagai Janet.
Yang amat menarik dari film ini adalah sosok Russ dewasa yang sangat rush (bergerak dan bertindak dengan cepat dan bergegas) dalam kesibukan kerja bertemu dengan Russ kecil yang hadir secara nyata dalam hidupnya sebagai sosok yang kecil, gemuk, gegabah dan sangat menjengkelkan bagi Russ dewasa.
Russ dewasa berusaha menghilangkan kehadiran Russ kecil yang dianggapnya sangat menganggu. Namun banyak hal berubah dalam hidup Russ dewasa ketika dia mau menerima Russ kecil, dan bersama-sama kembali ke masa lalu dan menyelesaikan apa yang belum diselesaikan di sana. Dan akhirnya Russ bisa menjalani hari-harinya dengan ringan, tersenyum dan bahagia. Dengan kata lain, Russ bisa hidup dalam kepenuhannya.
Film besutan sutradara Jon Turteltaub yang berdurasi 104 menit ini, bukan hanya memaksa mata kami terus terbuka walau sudah berat dipenuhi kantuk, namun juga pikiran dan rasa mesti bergulat keras karena kami menontonya tidak sebagai film fiksi belaka tapi sebagai kisah yang membuka pikiran tentang siapa saya dewasa ini dan siapa saya dalam diri si kecil di masa lalu dengan segala sesuatunya yang belum selesai (unfinished things), yang terus menuntut untuk diselesaikan bahkan hingga saat ini.
Saat film selesai, kami diminta untuk membuatkan refleksi atau tanggapan untuk dibagikan di group whatsapp atau disampaikan besok di kelas. Ketika mengaktifkan handphone, ada beberapa komentar menarik dari peserta kursus. Pak Teguh, berkomentar, “We all just trying to get the better of us’ from the movie The Kid“. Tiga orang memberikan emoticon jempol, satu orang tangan berdoa dan satu lagi memberikan hati merah.
Suster Natalia, ADM menulis demikian, “Belajar untuk mengenal diri dari pribadi si kecil yang menemukan jati diri yang sesungguhnya” lalu menambahkan dua emoticon tangan berdoa dan dua jempol kuning. Komentar ini ditanggapi dengan proporsional: satu tangan berdoa, satu hati merah dan satu jempol kuning.
Romo Rian dari Keuskupan Ruteng memberi komentar singkat yang romantis, “Moment menyentuh…Ketika si kid disapa dengan penuh keramahan, dan dibelai dengan cinta” diikuti emoticon tiga wajah meneteskan air bening di sudut mata. Komentar ini ditanggapi dengan dua jempol kuning, dua hati merah dan satu tangan berdoa. Suster Lusia, SND menambahkan dengan komentar, “Berdamai dengan si kecil adalah jalan menemukan diri dan kehidupan yang bahagia” dan menambahkan emot tangan berdoa. Komentar ke empat ini ditanggapi dengan emoticon tiga jempol kuning, satu tangan berdoa dan satu hati berwarna merah.
Saya juga turut memberi komentar, “Perjumpaan, penerimaan, berdamai, bahkan bermain gembira dengan “si kecil” di masa lalu, membuat hidup bisa berjalan semestinya dan dapat berjumpa juga dengan ‘si besar’ di masa depan. What a great movie!” Tanpa emoticon dan ditanggapi satu emot jempol putih, dua jempol kuning, satu tangan berdoa dan satu hati merah.
Nomor kontak bernama justiniluk991 memberi komentar terakhir, “Kemauan, keterbukaan hati untuk berjumpa dengan ‘si kecil’ mengubah hidup. Hidup menjadi lebih hidup, menjadi berkat bagi diri dan sesama. Thanks untuk film yang mengagumkan.” Ditutup emoticon tangan berdoa dan ditanggapi dua emoticon jempol kuning, satu jempol putih, satu tangan berdoa dan satu hati merah.
Tanggapan ini masih dilanjutkan lagi di pagi hari. Saat membuka sesi, Bu Meifung memberi kesempatan untuk berkomentar lagi. Dan sungguh menarik bahwa semuanya ini membuka wawasan kita tentang pentingnya anak kecil dalam diri kita yang tak boleh dianggap kecil, atau dipandang remeh. Justru dalam banyak hal si kecillah yang mengendalikan kita yang sudah merasa besar ini.
Saya teringat sebuah film animasi berjudul Shiva. Film ini menceritakan tentang Shiva, seorang anak kecil yang sering menggunakan sepeda ajaibnya untuk menumpas para penjahat yang selalu diperankan orang-orang dewasa. Shiva selalu beraksi dengan berteriak lantang, “Aku bukan anak kecil, paman!” Dan ini menunjukkan betapa Shiva yang kecil itu tidak boleh dipandang kecil atau dianggap remeh.
Mari kita mendengarkan si kecil yang sering datang mengajak kita kembali, memenuhi keinginan, harapan, kemauan yang belum terpenuhi di masa lalu. Menyelesaikan apa yang belum diselesaikan jauh di sana demi ringannya kita melangkah di sini.
Mungkin si kecil di sana, dulu dibatasi rasa ingin tahunya dengan bentakan, dengan ancaman dan kebohongan yang menakutkan.
Mungkin si kecil di sana, dulu tak pernah sempat berucapkan apa ingin, apa mau, apa harapnya karena keadaan memaksanya diam, hanya berpura-pura mengerti dan memahami saja.
Mungkin si kecil di sana, dulu harus diam saja, harus nurut saja apa dikata, apa diperintah ayah dan ibunya, para guru dan orang-orang dewasa lainnya biar dibilang anak yang baik, anak ayah, anak ibu, adik yang baik, murid yang baik dan teman yang baik.
Mungkin si kecil di sana, dulu tak pernah sempat melakukan dengan bebas apapun yang mau dia lakukan, dan terpaksa harus ikut maunya orangtua supaya tak kehilangan kasih sayang mereka atau mendapatkan hukuman.
Dan masih banyak yang belum diselesaikan si kecil di sana dulu bisa kita deteksi dari apa yang terjadi pada kita di sini kini. Jika kita sering mudah marah, sulit mengampuni, sangat perfeksionis, takut sendirian, takut berjumpa orang lain, sulit berterima kasih, tidak pernah bersyukur, suka mengeluh, selalu merasa benar, dan lain sebagainya; itu berarti masih ada masalah yang belum kita selesaikan di masa lalu, masih ada luka yang belum kita sembuhkan di waktu silam.
Namun si kecil tidak pernah meninggalkan kita. Kita masih bisa berjumpa dengannya dan mengajak dia untuk kembali mendapatkan apa yang dia inginkan, menyelesaikan apa yang belum dia tuntaskan dan bersama si kecil yang harus kita terima, kita cintai dan kita percaya inilah, kita dapat hidup utuh dan penuh saat ini dan di sini dalam segala keberadaan kita.
Kursus yang diberikan langsung oleh Ibu Monica Maria Meifung, seorang murid langsung dari Romo Wolfgang Bock Kastowo, SJ; seorang imam misionaris Jesuit asal Jerman yang bukunya “Anak Terluka, Anak Ajaib” (2007) menjadi buku utama yang kami gunakan untuk latihan berdamai dengan si kecil dalam diri kami, berlangsung sejak tanggal 20 hingga 28 Agustus 2024.
Dalam diskusi dengan beberapa teman, kami menyadari kursus ini amat penting bukan saja bagi seorang calon imam, namun juga bagi seorang imam. Seorang imam projo dari Keuskupan Ruteng bahkan mengatakan, “kursus ini akan sangat membantu terutama bagi para formator atau pastor paroki, supaya jangan sampai karena ada luka masa lalu, lantas para formandi atau umat menjadi korban.” Seorang teman yang lain mengatakan bahwa kegiatan ini amat penting, karena seringkali justru orang membenarkan ketidakberesan dalam dirinya dengan pengetahuannya, entah itu secara filsafat, teologis, bahkan spiritual. Padahal, semua ketidakberesan itu bagaikan luka yang mesti disembuhkan, bukan ditutupi dengan pembenaran atau rasionalisasi.
Demikianlah kami mengakhiri diskusi sambil lalu itu di taman tengah Pusat Spiritualitas Girisonta, pada pagi hari setelah sarapan. Beberapa ekor burung darah terbang merendah, lalu bertengger di tanah berumput, ketika seorang bapak datang dan memberi makan burung-burung darah yang terkenal setia itu. Kami pun menyadari, sampai kapanpun, tiada akan pernah kami menjadi benar-benar sembuh, benar-benar selesai, atau jadi pribadi yang utuh. Namun justru dalam kelemahan dan kerapuhan kami ini, seperti burung darah, kami harus tetap setia.
Girisonta, 22 Agustus 2024
P. Dhany, OCD
0 Comments