Oleh: P. Daniel Lobo Oba, OCD
Banyak orang sudah berkumpul di pelataran Paroki. Mulai dari anak-anak sampai orang tua, sudah membanjiri kompleks Paroki Santo Yosef Bajawa sedari pagi hari. Mereka menunggu ibadat jalan salib atau tablo dipentaskan.
Sejenak hening datang memenuhi atmosfir kompleks gereja, lalu suara narator menggema memecah sunyi, dan bersama dengannya anak-anak yang memerankan Yesus dan tiga rasul berjalan keluar dari pintu samping gereja.
Suara instrumen musik mengalun pelan mengiringi langkah kaki mereka menuju sebuah taman.
Di taman itu dia yang memerankan Yesus menyuruh para muridnya untuk berdoa dan berjaga-jaga, “Tinggallah di sini, berjaga-jagalah dan berdoalah!”
Lalu dia maju beberapa langkah ke depan. Berlutut dan menyulam jari-jarinya lantas bertopang pada sebongkah batu.
“Ya Bapa…,” suaranya bergetar, nafasnya bagai memburu. “Jikalau boleh… biarlah piala ini lalu dari padaku…” nadanya melambat dan berat, seperti berusaha keras. “Namun, bukanlah kehendakku…, melainkan kehendakMulah yang terjadi…” kata-katanya terdengar seperti diucapkan orang yang sedang dilanda duka yang dalam.
Duka dari Sang Anak Manusia yang adalah juga Sang Allah, yang bisa merasakan kesedihan dan pedihnya derita karena Dia tahu apa yang akan ditanggung nanti dan betapa itu sungguh akan sangat berat bagiNya.
Setelah menyelesaikan doanya. Dia kembali ke tempat murid-murid-Nya yang tadi disuruh menunggu. Dari jauh sudah dilihatnya mereka sedang tertidur pulas. Dia merasakan sebuah kesendirian yang amat kuat. Seakan tidak ada teman yang menemani dalam saat-saat yang paling dibutuhkan.
Dimanakah mereka yang selama ini sering datang kepadaNya? Orang-orang berdosa yang telah diampuni, orang-orang sakit yang telah Dia sembuhkan, orang-orang lapar yang sudah Diakenyangkan, dimanakah mereka gerangan?
Dahulu mereka selalu datang kepadaNya. Terus menemui Dia dengan berbagai cara: mendahuluiNya dengan jalan darat, menerobos kerumunan orang banyak, membongkar atap rumah, memanggil-manggil namaNya dari pinggir jalan, memanjat pohon supaya dapat melihat Dia lebih jelas; dimanakah mereka?
Kini tak ada satupun yang datang menemaniNya saat Dia membutuhkan mereka. Orang-orang yang selalu mengikutiNya kemana pun Dia pergi, sudah hilang entah kemana. Bahkan para murid kesayanganNya tertidur dengan nyenyak. Dia benar-benar sendirian terlupakan.
“Mengapa kalian tidur? Tidak sanggupkah kalian berjaga-jaga dengan Aku walau sejam saja?” Mereka hanya membuka mata sebentar, menatap dengan pandangan yang hambar, lalu kembali ke dalam tidur yang nyenyak.
Hari makin kelam. Seluruh sunyi bagai berkumpul di taman itu.
Dia kembali ke taman untuk berdoa lagi seorang diri. Dan sungguh dirasakanNya betapa pahitnya piala yang akan diminumNya. PeluhNya mengalir bercampur tetesan darah.
Aku berdiri dari jarak yang jauh, namun aku dapat menangkap getaran tubuhnya yang lemah. Nada suaranya pun jelas mengatakan bahwa dia sedang berada dalam sakit dan duka yang amat dalam. Wajah-wajah orang-orang di sekitar taman itu pun pasti menyadarinya. Beberapa ibu nampak menatap dengan sorot mata sayu. Semua larut dalam peran yang dibawakan dengan penuh penghayatan oleh Sdr. Anyos, yang sudah tiga kali berperan sebagai Yesus sejak SMA.
Ini hanya sebuah drama jalan salib hidup. Hanya sebuah peragaan kembali kisah sengsara Tuhan 2000-an tahun silam di sepanjang jalan dari Istana Pilatus menuju Bukit Golgota. Namun, mengapa hati terenyuh dan sakit? Mengapa sedih dan pedih terasa menusuk di lubuk hati?
Para prajurit itu datang menangkap dan menyeretNya dengan paksa dan kasar sekali. Setelah diadili dengan tidak adil dan diolok-olok dengan sarkas, dia pun disiksa di depan orang banyak. Tubuhnya ditarik dengan kasar pada tali yang diikat di pinggangNya. Dia tersentak ke sana ke mari dan wajahNya nampak menunjukkan rasa sakit yang ditahan dengan setengah mati. Lalu Dia dicambuk dengan sangat keras.
Itu hanya cambuk-cambukan dari semacam tali kompor yang dijalin menjadi satu, yang dipukulkan pada bagian tubuh yang juga sudah dilindungi, namun tetap saja, pukulan itu sangat kuat dan ada bagian tubuh yang tidak terlindungi, terkena pukulan.
Sungguh pun itu, adegan ini menjadi salah satu yang paling mengetuk batin dan mengaduk rasa.
Apalah artinya dengan cambuk yang digunakan oleh orang-orang Romawi pada zaman Yesus, yang pegangannya dari kayu atau besi dengan ujung-ujungnya ada tali yang terbuat dari kulit atau kulit kayu yang dipilin. Pada ujung-ujung tali itu ada bulatan besi atau timah bergerigi atau tulang domba yang ditajamkan. Inilah yang digunakan untuk mencambuk Yesus.
Hukuman akibat cambukan ini bisa menyebabkan kematian. Dan ini bukan hanya bertujuan untuk menyebabkan rasa sakit, tapi juga untuk mempermalukan. Karena yang dicambuki juga sekaligus dipermalukan, dihina dan dilecehkan sambil terus dipukuli. Tak terbayangkan bagaimana penderitaan yang amat hebat dialami Tuhan Yesus, dengan siksaan yang demikian keji dan tak berperikemanusiaan ini.
Santa Maria Magdalena, seorang Claris Fransiskan mendapatkan pengabulan atas permohonannya untuk mengetahui sungguh-sungguh rahasia penyiksaan Yesus pada malam sebelum Yesus diadili dan dihukum mati.
Ini adalah Lima Belas (15) Penyiksaan Rahasia Terhadap Yesus, Anak Allah, Penebus Manusia:
1. Mereka membelenggu kakiKu dan menyeretKu di atas batu-batu anak tangga, turun menuju ke sebuah ruangan kotor dan menjijikan di bawah tanah.
2. Mereka menanggalkan pakaianKu, lalu mencambuki badanKu dengan cambuk yang bersimpul-simpul besi.
3. Mereka melilitkan tali pada badanKu, lalu menarikKu sepanjang lapangan, dari ujung ke ujung.
4. Mereka menggantungkanKu pada sekeping kayu dengan simpul hidup dan mudah terbuka, sehingga AKU jatuh. Dengan siksa yang sedemikian ini, AKU menangis dengan air mata darah.
5. Mereka mengikatKu pada sebuah tonggak, lalu menusukKu dengan kayu yang bercabang.
6. Mereka memukulKu dengan batu, dan memanggangKu dengan bara api dan obor.
7. Mereka menusukKu dengan jarum besar, ujung yang menyerupai tombak runcing merobek kulitKu, daging dan urat-uratKu mencuat keluar dari badanKu.
8. Mereka mengikatKu pada sebuah tonggak dan menyuruh berdiri tanpa alas kaki, pada sekeping besi yang panas membara.
9. Mereka memahkotaiKu dengan mahkota besi, menutup mukaKu dengan kain yang kotor dekil.
10. Mereka mendudukkan AKU pada sebuah kursi yang dipasang paku-paku tajam yang menyebabkan luka-luka yang dalam pada badanKu.
11. Mereka menyirami luka-lukaKu dengan timah hitam dan damar cair, kemudian mereka menggencetKu pada kursi yang berpaku-paku, sehingga paku-paku ini menusuk membenam masuk semakin dalam dan lebih dalam lagi ke badanKu.
12. Supaya malu dan makin sengsara, mereka menusukkan jarum-jarum di lubang pori janggutKu yang sudah dicabuti. Lalu lenganKu diikatkan ke punggungKu dan mereka menggiringKu keluar dari penjara, dibarengi tamparan-tamparan dan pukulan.
13. Mereka menghempaskanKu pada sebuah salib dan mengikatKu, sedemikian kencang sehingga AKU hampir-hampir tidak bisa bernafas sama sekali.
14. Mereka mendorong keras kepalaKu, sehingga AKU jatuh terlentang ke tanah, lalu mereka menginjakKu yang menyakitkan dadaKu. Kemudian mereka mencopot duri mahkotaKu dan mencucukkannya ke lidahKu.
15. Mereka menuangkan dalam mulutKu kotoran-kotoran yang sangat busuk dan menjijikkan, sebab mereka kehabisan cara-cara penyiksaan yang sadis-keji kepadaKu.
Itulah penyiksaan kala itu. Namun, kini pun kita masih terus menyiksa Dia dengan dosa-dosa yang masih terus kita lakukan.
Tidak ada cara lain untuk berhenti menyakiti Dia yang telah amat mencintai kita, selain melalui tobat sejati, kasih yang sempurna, pengharapan yang teguh dan iman yang benar akan Dia sebagai Tuhan yang menciptakan dan kemudian menebus kita.***
Bajawa, 30 Maret 2024
0 Comments