DIA KEMBALI KEPADA SANG JAWABAN

(In Memoriam of Father Aloysius George Callahan Deeney, OCD)

Angin lembah masih bertiup dan udara sehabis hujan bersama diterbangkan masuk ke dalam teras biara, ketika kabar datang bahwa Opa, sapaan akrab kami bagi Pater Aloysius George Callahan Deeney OCD, telah meninggal dunia. Rasa tak percaya akan berita ini sejenak ada dalam benak, namun lalu lenyap oleh kenyataan bahwa Opa sudah lama terbaring di Rumah Sakit. Kondisinya amat lemah dan ini membuat mimpi besarnya untuk merayakan pesta emas 50 tahun imamatnya pada tanggal 18 Mei mendatang, seperti pelangi yang kadang tak selalu ada pada setiap usainya hujan.

Kira-kira Minggu yang lalu, setelah mendengar kabar dari pimpinan biara di Jogja tentang kondisi Opa yang makin parah, aku coba menelpon lalu mengirimkan pesan singkat lewat whatsapp karena Opa tak menjawab. Keesokan harinya sebuah notifikasi pesan muncul di hp: “Dhany, terima kasih sudah menanyakan kabar dan mendoakan. Maaf, kondisi saya sangat lemah sehingga agak sulit membalas pesan.”

Saat malam datang, beberapa kenangan bersama Opa timbul lagi di memori ketika aku berjalan-jalan di halaman depan biara sehabis makan malam.

Dia seorang karmelit yang sejati. Datang dari latar belakang tradisi yang ketat pada ajaran ordo dan kemampuan mumpuni dalam ilmu spiritual dan hukum gereja membuat dia sering menjadi tempat menemukan jawaban dari setiap pertanyaan. Dan kini dia sendiri telah kembali kepada Sang Jawaban dari banyak pertanyaan dalam hidupnya.

Banyak kali Opa memberikan jawaban. Pada pertanyaan tentang hal yang membutuhkan kejelasan untuk meninjau dari apa yan dikatakan hukum gereja atau konstitusi dan norma ordo, dia selalu jadi tempat cukup memuaskan sebelum sebuah keputusan diambil.

Namun banyak kali juga Opa memberikan jawaban tanpa ada yang bertanya. Dia seakan mampu membaca raut kegalauan batin saat kamu berusaha menyembunyikannya dalam ungkapan “I am fine, Opa.”

Tahun 2012 aku masih menjadi seorang novis. Suatu waktu, kami berpapasan di tangga biara. Aku hendak menyiram bunga, Opa hendak turun ke ruang minum. Aku memberanikan mengangkat kepala dan dia sudah lebih dahulu tersenyum dan menyapa, “Hai, Dany Boy,” begitu dia biasa memanggilku. Aku tersenyum dan membalas sapaannya.

“Perseverance!” Dia melanjutkan. Kata itu yang berarti, “ketekunan” menjadi bagai setetes air segar yang menetes ke dalam kalbu yang kering. Seperti bunga-bunga yang kini kusirami, aku tahu kata itu pula yang mesti terus menetes dalam kalbuku, sebagai seorang novis dengan perjuangan yang masih panjang kala itu.

Tahun 2021 aku sudah di Jogja, sudah menjadi seorang mahasiswa teologi. Hidup komunitas sudah banyak dicecap meski masih sebagai seorang formandi. Masa aspiran di Maronggela, Postulan dan Novisiat di Bajawa, belajar filsafat di Kupang dan kemudian menjalani praktek pastoral di Bajawa. Lalu akhirnya di sini, di Kota Gudeg ini. Banyak yang tidak berubah. Dinamikanya, benturan-benturan perbedaan sampai kadang ada juga konflik sering tak terhindarkan di tempat yang mengumpulkan banyak orang dengan banyak beda latarbelakang dan pemikiran.

Opa tentu mengetahuinya dan suatu saat dia memberikan pedoman dalam sebuah kata, “SALT” dalam bahasa Indonesia berarti “garam”. SALT itu sebuah akronim dari Serious, Anger, Lonely dan Tired.

Serious, bahwa dalam hidup berkomunitas, orang tidak boleh terlalu kaku atau serius sampai tidak bisa menikmati canda dan gurauan sebagai sekadar bumbu komunikasi dengan yang lain.

Yang kedua, Anger atau kemarahan, berarti apapun yang terjadi, emosi harus tetap bisa dikuasai dan dikendalikan, bukan malah yang menguasai dan mengendalikan kita.

Yang ketiga, Lonely atau kesepian yakni dalam atmosfir hidup biara yang sering hening dan sunyi tidak boleh salah dimaknai dan dirasai sebagai kesepian atau keterasingan karena dia bukan jadi tempat pelarian.

Keempat adalah Tired atau kelelahan. Ini bukan berarti menolak untuk menaati perintah tubuh untuk berhenti sejenak mencari keseimbangan. Bukan juga terus memaksakan diri di luar kemampuan, namun tentang terus berkomitmen meneruskan perjalanan meski dengan tempo dan ritme yang melambat. Dan itulah SALT atau garam yang mesti tetap bisa memberi rasa pada setiap menu kehidupan yang disajikan dalam mangkok komunitas.

Selamat jalan, Opa. Kami mendoakanmu sembari berharap dalam percaya engkau pun mendoakan kami.

Maronggela, 19 Maret 2024

P. Daniel Lobo Oba, OCD

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *