“Milikilah kepercayaan yang besar, karena kepercayaan itu diperlukan bukan untuk memundurkan keinginan seseorang, tetapi untuk percaya kepada Allah bahwa jika kita mencoba, kita akan maju perlahan-lahan, walaupun hal itu mungkin bisa segera, mencapai tingkatan yang dilakukan oleh para kudus dengan bantuanNya” (Riwayat Hidup 13.2).
Tekad adalah sesuatu penting tanpa diragukan. Lima puluh dua kali Santa Teresa menggunakan kata itu untuk berbicara tentang keberanian dan ketekunan yang dilakukan agar orang tetap setia. Meskipun demikian, seratus dua puluh empat kali ia menggunakan kata kerendahan hati. Niat tanpa kerendahan hati adalah arogansi. Dan Aarogansi bisa merusak segalanya. “Biarlah kerendahan hati selalu diutamakan agar kita bisa mengerti bahwa kekuatan ini tidak muncul dari diri kita sendiri“ (Riwayat Hidup 13.3).
Dalam meditasi, usaha (persiapan, membaca, merenung, membayangkan) muncul dari diri kita sendiri. Tetapi kekuatan tidak. Kita tidak memaksa pertumbuhan kita. “Perlahan-lahan… dengan bantuan” (Riwayat Hidup 13.2). Tekad dengan kerendahan hati membantu kita melaksanakan kebajikan lain yang diperlukan untuk membuat kemajuan, yakni kesabaran.
Saya berpikir tentang gambaran ini dari pengalaman saya pribadi. Saya waktu itu belum pernah belajar memasak. Waktu saya masuk novisiat, biara kami tidak memiliki karyawan dari luar. Kami yang harus memasak. Setiap novis harus memasak secara bergiliran. Saya harus belajar dan harus belajar secara keras. Komunitas memiliki 22 anggota. Giliran pertama saya memasak, saya harus memanggang satu potongan besar daging sapi. Saya mencari petunjuk dan diberikan suatu ukuran potongan daging yang dikatakan harus dimasak demikian dan demikina pada suatu suhu ini selama 3 jam. Tetapi, saya mencoba untuk lebih efisien dan saya berkata kepada diri saya sendiri, “Jika memasak pada suhu tertentu selama 3 jam bisa menyelesaikan masakan, maka memasak dengan dua kali suhu itu akan menyelesaikan masakan dengan setengah waktu yang ada.”
Celaka! Dengan yakin saya mengolah daging. Tetapi tak ada seorang pun yang bisa memakannya. Lihat, saya tidak menyadai bahwa bukan diri saya yang mengolah daging. Yang mengolah daging adalah panas dalam hubungan dengan ukuran daging. Daging itu adalah doa. Panas itu adalah Allah. Pemasak adalah orang yang berdoa. Sabar!
“… Saya menasihati bahwa sangat penting bagi roh untuk tidak naik, kecuali Allah yang mengangkatnya“ (Riwayat Hidup 12.7). Allah yang memberi kekuatan.
Santo Yohanes dari Salib dalam Madah Rohani menulis: “Pernikahan yang dibuat di salib bukanlah sesuatu yang kita bicarakan. Karena pernikahan itu segera diselesaikan saat Allah memberikan rahmat pertama yang dicurahkan kepada setiap orang saat baptisan. Sang mempelai yang kita bicarakan menunjuk kepada kesempurnaan dan itu terwujud secara bertahap dan bertingkat. Karena walaupun itu adalah suatu pernikahan, ada perbedaan karena suatu hal yang dicapai terwujud melalui langkah jiwa, dan karenanya terwujud perlahan dan hal yang lain terwujud melalui langkah Allah, karenanya segera” (Madah Rohani 23.6).
Pernikahan adalah relasi antara Allah dan jiwa. Dari sisi Allah, relasi itu sudah sempurna karena penebusan yang diberikan bagi kita oleh Kristus di salib. Tetapi dari sisi jiwa, relasi itu memerlukan waktu. Allah berurusan dengan kita masing-masing secara pribadi dan menghargai keterbatasan kita, karena itu … “perlahan-lahan” Sabarlah.
Dikutip dari buku: P. Aloysius Deeney, OCD, Renungan-Renungan Santa Teresa Dari Yesus dan Santo Yohanes Dari Salib, (Yogyakarta: Nyala Cinta, 2022), hlm. 87-88.
0 Comments