“Semua kerinduanku dulu dan masih ada sampai sekarang adalah bahwa karena Dia memiliki banyak musuh dan sedikit sahabat, maka sahabat yang sedikit ini harus menjadi sahabat yang baik” (Jalan Kesempurnaan 1.2).
“Arahkanlah pandanganmu kepada Sang Tersalib dan segalanya akan menjadi kecil bagimu” (VII Puri Batin 4.8). Santa Teresa mendorong kita untuk belajar dari Kristus yang adalah Sang Guru: “O Kebijaksanaan Abadi! O Guru yang baik! Betapa mengagumkan, putri-putriku, memiliki seorang guru yang bijaksana dan cermat yang meramalkan berbagai bahaya” (Jalan Kesempurnaan 37.5).
Santo Yohanes dari Salib juga memberitahukan kepada kita bahwa Kristuslah yang harus kita pelajari: “Pertama, milikilah keinginan tetap untuk mengikuti Kristus dalam semua perbuatanmu dengan membawa kehidupanmu kepada kesesuaian dengan kehidupanNya. Kemudian kamu harus mempelajari kehidupanNya agar mengetahui cara untuk mengikutinya dan bertindaklah dalam setiap peristiwa seperti yang dilakukanNya” (I Pendakian Gunung Karmel 13.3).
Buku Mengikuti Jejak Kristus, di halaman-halaman yang paling awal, mengatakan hal yang sama, “…kita harus mengikuti kehidupan dan percakapanNya, jika kita ingin sungguh-sungguh dicerahkan dan dibebaskan dari segala kebutaan hati. Pelajaran utama kita adalah untuk merenungkan kehidupan Yesus Kristus” (I Mengikuti Jejak Kristus 1.1).
Dalam Jalan Kesempurnaan, Santa Teresa menerapkan hal yang telah diajarkannya kepada para suster (dan kepada kita) bagi kehidupan harian dengan menatap Yesus saat Ia dituduh, difitnah, dikritik dan dihukum. Ia menatap kepadaNya dan menulis: “Sesungguhnya, dituntut adanya kerendahan hati yang besar untuk hening saat melihat seseorang dihukum tanpa kesalahan. Inilah suatu cara yang mengagumkan untuk mengikuti Tuhan yang menghapus semua dosa-dosa kita”(Jalan Kesempurnaan 15.1).
Sang santa mengakui bahwa ada beberapa waktu saat orang perlu berbicara untuk membela orang lain atau untuk tidak berbicara agar tidak menyebabkan bahaya yang lebih besar bagi orang lain. Tetapi dalam kebanyakan peristiwa, dia memuji “kebajikan batiniah” ini. Kebiasaan untuk tidak membuat alasan bagi seseorang, untuk tenang saat dibicarakan, untuk tidak terlalu sensitif terhadap kritikan yang berjalan melawan egoisme dan sikap menganggap diri penting yang mencegah kita untuk sungguh menjadi pengikut-pengikut Kristus. Kita tidak punya cara lain. “Karena itu,…jika kamu mengasihi Dia, berusahalah agar hal yang kamu katakan kepada Tuhan tidak hanya memuat kata-kata yang santun; berusahalah untuk menanggung hal yang diinginkan oleh Sri Baginda untuk kamu tanggung” (Jalan Kesempurnaan 32.7)
Hal pertama tentang kebajikan ini adalah bahwa jika kita tak bersalah atas hal yang dikatakan oleh orang lain tentang kita, kita tidak pernah 100% tak bersalah di dalam kehidupan. Jika kita tidak bersalah atas hal yang dikatakan sekarang, ada banyak hal yang tidak diketahui dan tentangnya kita hanya bisa dihukum (bdk. Jalan Kesempurnaan 15.4,6).
Hal kedua tentang kebajikan kerendahan hati ini adalah bahwa kita harus berlatih untuk hening di depan kritik. Buah pertama adalah bahwa kita menjadi kuatsecara batiniah. Kita tak lagi dilemahkan oleh hal yang dipikirkan atau dikatakan oleh orang lain tentang kita. “Meskipun mungkin besar kebajikan-kebajikan batiniah, kebajikan-kebajikan itu tidak menghapus kekuatan fisik yang diperlukan untuk menjaga ketaatan religius; sebaliknya, kebajikan-kebajikan itu menguatkan jiwa” (Jalan Kesempurnaan 15.3).
Buah kedua praktik kerendahan hati adalah bahwa kita menjadi bebas. “Ketika seseorang mulai menerima kebebasan dan tidak peduli apakah yang mereka katakan baik atau buruk…saya tahu bahwa kebebasan seperti itu, penyangkalan diri dan kelepasan dari diri sendiri, bisa diraih dengan bantuan Allah” (Jalan Kesempurnaan 15.7).
Dikutip dari buku: P. Aloysius Deeney, OCD, Renungan-Renungan Santa Teresa Dari Yesus dan Santo Yohanes Dari Salib, (Yogyakarta: Nyala Cinta, 2022), hlm. 42-44.
0 Comments