Seri Karmelitana – Hari 17

“Semua kerinduanku dulu dan masih ada sampai sekarang adalah bahwa karena Dia memiliki banyak musuh dan sedikit sahabat, maka sahabat yang sedikit ini harus menjadi sahabat yang baik” (Jalan Kesempurnaan 1.2).

Santa Teresa menegaskan bahwa kebajikan kerendahan hati adalah praktik utama dan kebajikan yang nyata dalam kehidupan rohani. “Seluruh bangunan (kehidupan) ini… memiliki kerendahan hati sebagai dasarnya” (VII Puri Batin 4.8). Tanpa pengenalan diri tidak ada kehidupan batin. Tanpa kerendahan hati tidak ada pengenalan diri. Doa tanpa pengenalan diri adalah kosong. Sekali lagi, saya ulangi, Allah ingin agar kita mengetahui bahwa Ia mencintai kita dan Ia mencintai kita apa adanya, sebagai mahkluk yang tidak sempurna dan pendosa. Itulah tujuan misteri penjelmaan. Kenyataan ini mengingatkan kita kepada pewartaan malaikat kepada Santo Yosef dalam Injil Matius 1:20-22: “…engkau akan memberi Dia nama Yesus karena Dia akan membebaskan umatnya dari dosa- dosa mereka.”

Kerendahan hati membantu kita mengakui bahwa kita adalah orang- orang yang membutuhkan, bahwa kita tidak mampu mencukupi diri sendiri dan bahwa kemampuan kita terbatas. Santa Teresa menulis: “…doa batin adalah cara untuk memahami kebenaran-kebenaran ini” (Jalan Kesempurnaan 22.8). Kebenaran-kebenaran ini adalah bahwa kita harus tahu jawaban atas pertanyaan “Siapakah aku ini?” dan “Siapakah Allah?”

Seperti disebutkan, Santa Teresa menghubungkan kelepasan dan kerendahan hati. Kerendahan hati dibutuhkan untuk melepaskan diri dari hal-hal yang kita sembunyikan di belakang kita. Ia juga menghubungkan kerendahan hati dengan kebenaran. Definisinya yang terkenal tentang kerendahan hati adalah “berjalan dalam kebenaran” (andar en verdad).

“Suatu kali saya sedang merenungkan mengapa Tuhan kita sangat suka dengan kebajikan kerendahan hati ini, dan pikiran ini datang kepada saya, menurut saya bukan sebagai sebuah hasil refleksi tetapi spontan: itu karena Allah adalah kebenaran tertinggi; dan menjadi rendah hati adalah berjalan dalam kebenaran (diri yang sejati), karena itulah kebenaran yang sangat dalam yang membuat diri kita tidak memiliki hal lain yang baik selain penderitaan dan kekosongan. Barang siapa tidak memahami hal ini, ia berjalan dalam kepalsuan (diri yang palsu). Semakin seseorang memahaminya semakin ia menyenangkan Sang Kebenaran Tertinggi karena ia sedang berjalan dalam kebenaran. Berusahalah untuk menyenangkan Allah, para susterku, kita akan diberi anugerah untuk tidak meninggalkan jalan pengenalan diri ini, amin” (VI Puri Batin 10.7).

Diri yang palsu, yang arogan, “kesempurnaan” diri yang diproyeksikan bukanlah diri yang sejati. Diri yang sejati tidak cukup sempurna dan kesempurnaannya hanya ditemukan dalam relasi dengan “…Dia yang kita tahu mengasihi kita” (Riwayat Hidup 8.5).

Kerendahan hati yang palsu adalah sikap yang membuat kita takut untuk mencoba meneruskan langkah. Santa Teresa bahkan menyebut kerendahan hati yang palsu sebagai suatu jenis kesombongan. “Betapa bodohnya; melarikan diri dari cahaya sehingga selalu tersandung! Kerendahan hati yang sombong seperti itulah yang diciptakan setan dalam diriku” (Riwayat Hidup 19.10).

Santa Teresa mengikat kerendahan hati, kasih kepada Allah dan kasih-Nya kepada kita serta kelepasan dalam satu paragraf di Jalan Kesempurnaan, dengan menggunakan gambaran ratu dan permainan catur. Ia menulis: “Ratu ini adalah bentuk yang bisa melangkah di pertempuran terbaik dalam permainan ini, dan semua bentuk yang lain membantu. Tidak ada ratu seperti kerendahan hati yang membuat raja menyerah. Kerendahan hati menarik Sang Raja dari surga ke dalam rahim sang perawan dan bersamanya, dengan sehelai rambut, kita akan menarik-Nya kepada kita. Dan menyadari bahwa seseorang yang memiliki kerendahan hati akan menjadi orang yang lebih memilikiNya; dan orang yang kurang memilikinya akan kurang memiliki-Nya. Karena itu saya tidak bisa mengerti bagaimana bisa ada kerendahan hati tanpa cinta kasih atau cinta kasih  tanpa kerendahan hati; juga dua kebajikan ini tidak akan mungkin tanpa kelepasan dari segala ciptaan” (Jalan Kesempurnaan 16.2).

Dikutip dari buku: P. Aloysius Deeney, OCD, Renungan-Renungan Santa Teresa Dari Yesus dan Santo Yohanes Dari Salib, (Yogyakarta: Nyala Cinta, 2022), hlm.37-39

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *