KEKUATAN PENGAMPUNAN DAN CINTA

Di mana tidak ada cinta, tanamlah cinta, maka kamu akan menemukan cinta!
St. Yohanes dari Salib

Cinta itu, kadang tak butuh kata, tak butuh penjelasan. Cinta itu tak pernah dapat diyakinkan oleh kata-kata atau ungkapan saja yang sering kali menipu. Cinta itu perlu dirasakan, perlu dibiasakan, perlu ditanamkan dulu, dirawat dengan kesabaran dan kesetiaan sampai tiba saatnya kamu akan memanennya.

Malam yang hening di Puspita (Pusat Spiritualitas Girisonta), Semarang, pada hari ke empat menjalani Kursus Pengolahan Masa Kecil, kami menyaksikan sebuah film korea “The Way Home” yang bercerita tentang seorang anak berusia tujuh tahun yang dititipkan Ibunya untuk tinggal bersama neneknya yang bisu dan tuli (tuna rungu wicara) di sebuah kampung terpencil yang jauh dari kemewahan kota.

Film yang pernah mendapatkan penghargaan Grand Bell Awards setara Oscar di Korea Selatan ini dibuka dengan memperlihatkan adegan di dalam sebuah bus dimana seorang ibu duduk bersama anaknya, Sang Woo yang diperankan Yoo Seung-Ho. Si ibu sedang tertidur, sedangkan si anak hanya bermain game karena terusik dengan keributan percakapan orang-orang desa di atas bus lengkap dengan ayam, gelak tawa dan barang dagangan lainnya.

Sang Woo diantar ibunya ke sebuah gubuk di desa. Di situ, dalam kurun waktu yang tak pasti, Sang Woo akan tinggal bersama neneknya yang diperankan Kim Eul Boon dan di sinilah kisah tentang kekuatan pengampunan dan cinta dimulai. Long story short, film berdurasi 87 menit ini dututup dengan adegan Sang Woo yang memutuskan untuk meninggalkan neneknya dan kembali ke kota.

Pada keesokan harinya, Minggu, 25 Agustus 2024, kami diminta memberikan tanggapan atau refleksi atas film semalam. Suster Bakhita dari Serikat Privat PPYK (Putri-Putri Yesus Kristus), memberi komentar bahwa ini kali keduanya dia menonton film ini, sehingga dia tidak merasa sesedih pertama kalinya dia menontonnya. Namun ada rasa ibah dalam hatinya ketika melihat bagaimana Sang Woo sebagai seorang cucu memperlakukan neneknya yang bukan saja sudah tua, namun juga tuli dan bisu. Namun kesabaran dan kasih sayang yang sejati akan membawa kepada kebenaran yang memperbarui.

Sedangkan Fr. Yoris, OCD mengatakan bahwa semalam dia susah tidur karena merenungkan empat kalimat: I am sorry, please forgive me, thank you dan I love you, yang hampir setiap hari bersentuhan dengan hidup kita. Dia meyakini bahwa kata-kata itu meski sederhana namun jika diucapkan dengan sepenuh hati, memang menyembuhkan.

Beberapa Minggu lalu, adik kelas saya yang baru saja datang dari Flores, ditabrak sepedanya oleh seseorang yang mengemudi mobil. Saat kejadian itu terjadi, dia sangat marah karena lukannya sangat serius. Namun ketika orang yang menabrak itu keluar dari mobil, kalimat pertama yang dia ucap adalah, ‘saya minta maaf’ dan itu seketika meredakan amarahnya. Sehingga dia berkata, ya, saya memaafkanmu karena kamu duluan mengucapkan kata maaf.” Ungkap frater berkacamata ini.

Sedangkan Romo Martin dari Keuskupan Ruteng melihat film ini dalam perspektif pola asuh anak, yang nampaknya lebih baik dilakukan oleh seorang nenek daripada bapa dan mama. Dia pun menghubungkan dengan kotbah sebelumnya,

Ini seperti pola asuh Tuhan, pola asuh Bapa yang idak memberikan hukuman, tapi menerima setiap situasi dan kondisi manusia. Dan Tuhan membiarkan kita berkembang sesuai dengan kesadaran kita.” Ungkap Romo Martin dengan tenang.
Bu Ika memberikan perhatian justru kepada Sang Woo sebagai anak yang tidak bersalah dalam situasi ini karena dia berasal dari lingkungan perkotaan dan tiba-tiba harus langsung diperhadapkan dengan situasi desa dan segala sesuatunya yang sangat asing baginya.

Saya juga merasa kasihan sama Sang Woo yang menurut saya otaknya belum mempunyai kapasitas untuk berempati, dia belum tahu apa-apa, nenek itu datangnya dari mana, dan kondisinya seperti itu, awalnya karena apa. Dan buat saya, saya tidak merasa kesal, justru kasihan.” Ungkap Bu Ika yang datang ke kursus bersama suaminya, Pak Feliks.

Suster Assumpta, PMY menghubungkan kisah ini dengan kesehariannya mengurus anak-anak cacat yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang membutuhkan kesabaran yang besar. Suster yang datang dari komunitas Jogjakarta ini percaya bahwa kekuatan sentuhan kasih itu bisa mengubah seseorang menjadi lebih baik, seperti yang dilakukan si nenek kepada Sang Woo, cucunya.

Romo Sabat mengawali tanggapannya dengan ungkapan, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” dan melihat betapa pentingnya penyesuaian diri atas lingkungan, meskipun nampak sulit pada awalnya.

Ketika dia masih bercokol dengan situasi di kota, gamenya kehabisan batere, sementara di desa tidak ada batere yang cocok untuk gamenya. Dia stress dan berjuang untuk mencari batere, tersesat, menangis. Namun dia melakukannya juga.” Ungkap Romo Sabat yang juga mengungkapkan kekesalannya pada tokoh ibu yang hanya melahirkan lalu membiarkan anaknya sendirian bersama si nenek di desa dalam kondisi seperti itu.

Sangat menarik mendengarkan tanggapan dari Suster Elis, PPYK. Putri Larantuka yang menyelesaikan pendidikan S1 Psikologi di Unika Soegijapranata ini melihat kedua tokoh, Sang Woo dan si nenek sebagai dua tokoh yang sama-sama rentan terhadap luka batin. Yang satu terlalu muda dan yang lainnya terlalu tua. Dia menambahkan bahwa dengan melihat Sang Woo, nenek itu pun mengalami proses pengolahan masa kecil dan ini nampak dalam adegan si nenek yang bisa bermain permainan si anak dan pada akhirnya-dengan kasih sayang-dia dapat menumbuhkan kasih sayang dalam diri si anak sehingga dia bisa mencintai dengan caranya.
Meskipun film ini mengambil latar di pedesaan dan banyak menampilkan tokoh nenek dan Sang Woo, sehingga dialog yang terjadi sangat jarang dilihat sebab si nenek sendiri seorang tuna rungu wicara dan Sang Woo adalah anak yang sedikit egois terpengaruh budaya kota yang individualis. Namun kemudian ada juga komunikasi yang terjalin erat di antara keduanya sebagai ungkapan cinta yang amat dalam, seperti sentuhan, tindakan menyelimuti, tatapan mata yang hangat, perhatian yang tulus, inisiatif untuk membantu, dan lain sebagainya yang mengungkapkan buah-buah dari cinta dan kasih sayang.
Ungkapan-ungkapan ini memiliki pengaruh yang sangat kuat membekas dalam jiwa seseorang, lebih daripada kata-kata yang diucapkan. Dalam film ini pun, tidak ada kata-kata romantis seperti, “Kekasihku’, ‘aku mencintaimu’, ‘manisku’, ‘mawarku’, ‘aku tak bisa hidup tanpamu‘,” dan semua ungkapan lainnya, kecuali ekspresi kebahagiaan seperti adegan Hae-Yeon memegang tangan Cheil-e sambil bernyanyi gembira, dan adegan Sang Woo tersenyum sendiri saat tidur dan membayangkan perjumpaannya dengan Hae-Yeon.

Jika kita membayangkan adanya lingkaran balas membalas salah karena menolak sakit dimana perlakuan tak pantas dari Sang Woo sebagai seorang cucu dibalas oleh neneknya, maka Sang Woo akan bertumbuh sebagai anak yang bermasalah dan nenek pun menanggung banyak luka dalam batinnya juga.

Kita ini lahir dari rahim seorang Ibu yang bukan saja menahan, namun juga menerima rasa sakit. Dengan menanggung segala rasa sakit itu, bahkan mempertaruhkan hidupnya, kita pun boleh mengalami kehidupan di dunia ini. Dan tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi seorang Ibu, selain kebahagiaan menatap wajah mungil di depan matanya itu.

Kalau saja Ibu kita tak mau menderita, tak ingin lama bersusah dalam melahirkan, tak kanjang bertahan menderita semua sakit itu, apakah mungkin kita ada dalam cerita?

Si nenek dalam kisah ini, pasti merasakan sakit ditolak oleh Sang Woo, namun apa yang membuatnya bertahan selain karena pengampunan dan  cinta?

Sang Woo yang awalnya tak kenal adab, tak tahu ucap maaf, tak kenal kasih, kini berubah jadi baik karena mengalami dan merasakan pengampunan dan cinta, bukan?

Kisah ini memberikan pelajaran bahwa kekuatan kasih dan pengampunan itulah yang mengubah, menyembuhkan dan memberikan kepenuhan dalam diri manusia yang terluka, diabaikan dan dilupakan. Cinta dan pengampunan tak pernah hanya sekedar menyapa atau numpang lewat saja. Mereka singgah dan menetap dalam hati yang menerimanya dan tahu bahwa semua hati yang lain mendambakannya jua.

 

 

Girisonta, 26 Agustus 2024

P. Dhany, OCD

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *